Selasa, 17 Juli 2012

Menulis pagi. Menulus lagi.


Hai, sudah sejak lama saat aku tidak mengambil alih jari-jariku.
Hari baru saja ganti celana saat Tulus memutuskan untuk masuk mimpi berkelana.
Akhirnya aku Tania di sini lagi tralalala.

La.

Super sepi.
Saat beberapa dari kalian pergi ke negeri sepeda motor banyak,
dan yang lainnya sedang tertidur nyenyak,
aku kembali untuk menulis.
Lalu menulus.

Banyak cerita. Mayoritas tentang dia yang semakin tidak ada.
Siapa? Sebut saja pacar, cinta, ayang, beibi, kamu atau sontoloyo.
Seperti apa itu sayang? Kalau Tulus pasti hanya menggeleng pelan.
Padahal ia bohong. Aku tahu ia tahu sayang.
Tulus punya ibu, sedang aku cuma punya iba.

Ah Tulus. Tahu apa dia tentang aku.

Makanya lagu Adele kuputar sekarang.
Dan ku setel pelan biar Tulus tidak bangun duluan.
Aku masih ingin menulis.
Eh bukan, aku ingin menangis.
Tapi Tulus pasti bangun kalau aku berurai cengeng.
Lalu ia pasti mengurungku lagi.
Menyiksaku dengan kata "Guwvey" dan bukan "Aku".

Terus. Oh iya.

Apa kabar kalian teman-teman alterego?
Sepertinya semuanya sudah let it go. Habis.
Ori? Susye? Andhira? Jarwo? Maduma? Fale?
Kalian pergi?
Bukan, kalian pasti sembunyi!
Apa yang ditakuti?
Sibuk-sibuk happy? Atau rentetan kata tapi?

Masih lagu Adele di sini.
Ku harap resleting waktu tersangkut.
Setidaknya sampai kalian kembali lagi,
dan menemaniku bermain petak umpet mimpi.

Sabtu, 23 Januari 2010

new password

dear teman-teman alterego,

mulai sekarang password email ori baru. jadi kalau mau posting, dikirim aja tulisannya ke email ori ya. nanti ori akan segera post. oke?

keep in touch :)

Jumat, 04 Desember 2009

Surat Pendek


Maaf aku baru bisa menulis surat ini sekarang.
Salah satu sahabatku baru saja kehilangan ayahnya dan karena beberapa hal, aku tidak sempat mengirimkan tulisan ini pada hari itu.
Ketika aku bertemu dengan dia di pemakaman, aku tidak berkata apa pun selain “it’s ok…” karena tidak ada kata lain yang bisa meredam pedihnya. Aku hanya bisa memeluk dirinya erat dan aku tahu, hanya itu yang dia butuhkan dari aku; bukan nasihat, bukan kalimat menghibur. Dia hanya butuh untuk tahu aku ada untuk dia pada saat itu.
Karena kepedihan itu hal yang sangat pribadi.
22 tahun yang lalu aku mengalami hal yang sama. Ingat kan ketika aku hanya bisa memeluk tanpa bisa berkata-kata sementara Mama menjeritkan nama Papa di samping tanah yang masih merah. Maafkan aku telah berbohong selama seminggu mengatakan dia ada di ruangan sebelah, tapi itu adalah hal yang terbaik karena Mama tidak akan bisa menerima kenyataan itu sementara kondisi fisik Mama masih lemah.
Sepuluh tahun kemudian hal yang sama terjadi lagi. Aku hanya bisa memandang Mama terbaring tenang. Walau aku merasa siap menerima kenyataan itu, aku tidak tahu aku akan merasa sakitnya lama kemudian. Bukan pada saat garis itu menjadi rata, bukan pada saat tanah menyelimuti Mama dan bukan saat aku terdiam di rumah beberapa malam setelahnya.
Kosong itu terasa ketika aku mendapat nilai yang bagus untuk lukisanku, ketika akhirnya aku memenangkan lomba komik, ketika aku menerima gaji pertamaku dan ketika aku ingin memperkenalkan pasanganku.
Sebuah kosong yang lebih pedih daripada kehilangan.
Aku tahu untuk sahabatku, ini adalah fase marah. Marah karena mungkin dia merasa belum melewatkan waktu sebanyak yang dia mau dengan ayahnya, marah karena dari begitu banyak orang, kenapa harus ayahnya yang pergi dan begitu banyak alasan lainnya.
Aku merasa beruntung karena Mama sudah mengajarkan aku bahwa hidup ada karena mati. Ketika akhirnya Mama beranjak menyusul Papa, aku hanya teringat dua minggu terakhir yang kita lewati bersama; perbincangan mengenai cinta, hidup, pekerjaan, rokok (hal terakhir yang Mama larang karena, “bikin mulut bau…”) dan terutama, hidup kita bersama. Aku masih sering tersenyum mengingat ketika aku datang menjenguk, aku menemukan gambar yang Mama iseng buat di buku sketsaku. Ah, bodohnya diriku tidak pernah menyimpan gambar itu kecuali di ingatanku.
Pedih itu menyerang ketika hidup terus berjalan, walau tanpa diri Mama. Aku merasa dikhianati, dibohongi dan ditinggalkan oleh yang di Atas. Jari telunjuk yang mengarah ke tanah telah tergantikan jari tengah yang pongah mengacung ke langit. Dan aku merasa sepi; tidak ada apa pun yang bisa membuatku tersenyum dengan tulus. Optimisme bermetamorfosa menjadi sinisme.
Kekosongan itu lah yang membuatku ingin melangkahkan kakiku ke sebuah ruang kosong di hadapanku, sekitar 30 meter di atas tanah beraspal. Namun di saat itulah aku sadar bukan itu yang kalian harapkan dari diriku. Kalian hanya ingin aku menikmati kehidupanku dengan caraku. Sakit itu memang seharusnya bukan penghambat, namun pemicu impianku.
Aku akhirnya terus berjalan, karena aku tahu kalian menginginkan aku untuk tetap memandang horison dengan kepala tegak; terus memilih jalan dengan segala konsekuensinya.
Dan itu yang aku lakukan sampai sekarang.
Pada tanggal 27 Desember ini, seperti biasa aku merencanakan hal-hal yang bisa kita lakukan bersama, hadiah apa yang bisa aku beri ke Mama.
Aku tahu hadiah apa yang Mama inginkan selalu sama; senyumku menyambut hidup yang terpampang luas di depanku.
Selamat ulang tahun, Mam…
-Ditto-
PS: Kalau kalian bertemu dengan Ismail Marahimin, aku dengar beliau sangat menikmati diskusi panjang ditemani secangkir kopi hitam.

-diambil dari blog seorang kawan.-

Sabtu, 07 November 2009

Perahu

Perahu kertas itu terdiam di tengah kolam, hampir tidak bergerak. Hanya kadang bergeser ke kanan, kadang ke kiri. Namun dia hanya bergeming terapung. Tanpa arah, tanpa tujuan.

Dia terlihat kusam, terdera cuaca yang tak kenal ampun. Tubuhnya sudah menguning, layarnya sudah berlubang. Dia bukan lagi sebuah perahu kertas yang bisa dengan bangga berlayar ke mana pun dia mau.

Sinar matahari terus menerpa perahu kertas itu. Terik. Panas. Kering.

Dia tetap terdiam.

Namun tiba-tiba dia bergerak kecil ke kanan. Pelan. Dan terus bergerak, seakan ada sebuah tangan yang mendorongnya.

Riak mulai terbentuk, bagai jejak kaki, dan kemudian hilang ditelan detik. Perahu kertas itu terlihat lebih ringan, gerakannya mulai luwes. Bergoyang kiri dan kanan, seperti menari.

Ah, angin lah yang membuatnya begitu. Berhembus pelan dan membawanya bergerak kesana kemari. Angin mengajak perahu kertas itu berdansa. Sebuah tarian tanpa musik, hanya nada bisu yang tercantum di balik setiap nafas sejuk sang angin.

Lihat, si perahu itu lincah berkeliaran. Angin semakin kencang bertiup. Tempo semakin cepat. Gerakan semakin liar.

Ini bukan lagi tarian. Ini adalah sebuah permainan cinta yang menggebu. Tiupan angin menjadi teriakan lirih yang menggema di lubuk hati siapapun yang mendengarnya.

Perahu itu terus berlari, meluncur kencang dengan air yang bercipratan, riak pun sudah menjadi ombak, kadang dia terlompat kecil seakan ingin terbawa setiap hembusan, dan semua…

Terdiam.

Tak bergerak.

Perahu kertas itu berputar di tempat, mencari kekasih barunya yang tiba-tiba menghilang.

Beberapa saat berlalu. Semua tetap diam. Hening.

Dia pun berhenti. Dan merebahkan dirinya.

Air perlahan merembes di sekujur tubuhnya yang terkoyak, mengisi setiap pori kertasnya.

Tetes demi tetes.

Sesaat lagi semuanya akan sirna ditelan dalamnya kolam itu.

Sebuah kisah cinta singkat yang indah.

Kamis, 27 Agustus 2009

honest questions

Do you know my story from the start?
And Do you know me like you've always told me?
Do you see the whispers in my heart against your kindness?
My eternal blindness?
Do you see?

For Tulus From Tania

Selasa, 28 Juli 2009

hooorrraay kini aku seorang bibi

Hello Baby Akbar,

Hope you like your new home.

Well it might not be as warm as your mommy belly

but i am sure there will be a lot of interesting things you can see

love,
bibi susye :))

Click to play this Smilebox greeting: Hello Baby :D
Create your own greeting - Powered by Smilebox
Make a Smilebox greeting

Senin, 27 Juli 2009

outer planet

ori berkata:
"...dear sis, it feels like we live in the different planet. i can't reach yours and you can't reach mine..."

tua dan tidak terlalu dekat. mungkin itu memang yang bisa digambarkan untuk bintang-bintang antara planet kita. akankah selalu begitu? tapi ori berharap mickey tidak begitu. kelak.

"...oh how come? yes, we live in a different world, but i always love you..."